Kamis, 06 Agustus 2009

SCHOOL REFORM AND LEARNING COMMUNITY

Oleh : Dr. Istamar Syamsuri, M.Pd

A. PENDAHULUAN
Sebagai suatu negara industri, pendidikan di Jepang pada awalnya mengarahkan pada upaya agar para lulusan sekolah dapat memenuhi tenaga kerja di industri-industri. Perindustrian memerlukan tenaga kerja yang berkualitas yang ditandai dengan penguasaan matapelajaran yang tinggi. Untuk memenuhi calon tenaga yang demikian dilakukan tes. Guru mengobarkan persaingan antar siswa untuk mencapai nilai yang tinggi. Kepala Institut Penelitian Pendidikan di Shinano, Inahaki, Tadahiko (2006) menyatakan bahwa pola pembelajaran semacam itu masih banyak terjadi di Jepang hingga saat ini. 
... Hasil dari pola pembelajaran seperti itu adalah terjadinya pengelompokan siswa menjadi 3 kategori, yaitu siswa kelompok A yang merupakan anak-anak yang berprestasi tinggi, kelompok siswa B yang merupakan anak-anak berprestasi sedang dan kelompok siswa C yang merupakan anak-anak berprestasi rendah. Dalam kondisi seperti ini terjadi ketidakadilan pembelajaran, karena para guru umumnya hanya memperhatikan kelompok A atau B, sementara kelompok C menjadi kelompok siswa yang kurang mendapat perhatian. Mereka akan selalu tertinggal dan akhirnya frustasi.
Di sela-sela himpitan gedung yang menjulang tinggi dan di antara kehidupan masyarakat industri yang terus dipacu oleh kesibukan dan waktu, terdapat anak-anak yang kurang mendapat perhatian, atau terjepit kondisi sosial ekonomi sehingga tidak mampu bersaing dengan yang lain, ditambah dengan persaingan di kelas yang ketat, memunculkan berbagai masalah. Masalah tersebut misalnya kenakalan remaja, perkelahian antar siswa, suka membolos, prestasi sekolah yang rendah dan bahkan banyak anak yang bunuh diri. Sekolah yang tidak dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan baik akibat permasalahan siswanya itu dikenal sebagai sekolah yang runtuh. 
Selain runtuhnya sekolah, para lulusan yang berhasil bekerja di sektor industri hanya bekerja berdasarkan instruksi, kehilangan kreativitas. Jadi persaingan dalam pendidikan hanya akan menghasilkan lulusan yang tidak kreatif, sementara yang berprestasi rendah mengalami frustasi. 
Di Jepang, penurunan kemampuan belajar siswa menjadi sorotan masyarakat. Sebagai contoh, berdasarkan hasil survai PISA menunjukkan bahwa hasil belajar siswa Jepang menurun. Hal ini menimbulkan kecaman masyarakat.
Kondisi seperti diuraikan di atas mendorong untuk dilakukan reformasi sekolah. Masalahnya bersumber dari perubahan sikap guru tentang tugas dan fungsi guru, suasana pembelajaran di kelas dan kondisi sekolah yang mendukung iklim terciptanya komunitas belajar di sekolah.

B. MENGAPA HARUS REFORMASI
Menurut Kepala Institut Penelitian Pendidikan Inahaki, Tadahiko (2006), sekitar 50 tahun yang lalu yakni setelah kalah perang, ekonomi Jepang sangat buruk. Bangsa Jepang miskin. Untuk bangkit dan memajukannya, yang paling utama adalah meningkatkan pendidikan. Karena itu Pemerintah Jepang mengeluarkan undang-undang untuk peningkatan pembelajaran IPA di sekolah-sekolah. Konsekuensinya, Pemerintah Jepang harus mengeluarkan anggaran untuk mengadakan peralatan guna pembelajaran IPA di sekolah. Jadi fasilitas pembelajaran terpenuhi. “Apakah guru Jepang memanfaatkan fasilitas tersebut, itu soal lain”, katanya memastikan. Artinya, kelengkapan peralatan tidak menjamin tingginya kualitas pembelajaran.
Sejak saat itu terjadilah persaingan siswa untuk memasuki sekolah pada jenjang lebih tinggi. Untuk dapat bersaing mengikuti tes dan lulus dengan memuaskan, siswa harus menguasai materi pelajarannya. Maka dalam proses pembelajaran yang dipentingkan adalah hafalan. Jadi meskipun sejak tahun 1952 fasilitas pembelajaran IPA lengkap dan baik, tetapi ternyata guru kurang memanfaatkannya. Bagi guru, yang penting siswanya lulus ujian dengan nilai baik. 
Di sekolah-sekolah yang runtuh dan di sekolah-sekolah Jepang umumnya (hingga saat ini pun masih banyak, yaitu di sekolah yang belum melakukan reformasi) terdapat fenomena-fenomena sebagai berikut:
1. Guru mendominasi kelas;
2. Metode yang sering digunakan adalah metode ceramah;
3. Guru ada yang bekerja di tempat lain di luar bidang pendidikan;
4. Hubungan guru dengan guru lain sebatas hubungan kedinasan;
5. Guru menginginkan agar siswa berprestasi dengan jalan melakukan kompetisi dan karenanya guru selalu menuntut siswa supaya belajar lebih baik;
6. Jika pengelolaan kelas dilakukan dengan membentuk kelompok, maka pencapaian belajar berdasar pada pencapaian kelompok, sehingga pencapaian setiap individu tidak diperhatikan. Jadi hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan yang sama, diabaikan. Pengelolaan kelas dengan membentuk kelompok dan mementingkan pencapaian hasil kelompok dikatakan sebagai pengelolaan kelas dengan pendekatan kooperatif.

C. PERUBAHAN SIKAP PENDORONG REFORMASI SEKOLAH
 Di dalam sekolah yang mengalami keruntuhan terdapat fenomena menarik yang perlu dicermati. Hubungan antar guru kaku. Hubungan antara guru-siswa tidak harmonis karena guru mendominasi. Dominasi guru lebih nampak ketika proses pembelajaran berlangsung, yaitu guru lebih suka mengembangkan komunikasi searah dengan menggunakan metode ceramah. Selain itu, guru juga banyak yang bekerja di luar profesi pendidikan, sehingga tidak dapat memfokuskan pikirannya dalam menunaikan tugasnya sebagai guru di sekolah. 
 Pangkal permasalahannya justru terletak pada pandangan tentang fungsi dan peranan guru. Maka yang harus berubah adalah gurunya, bukan siswanya, kata Kepala Institut Penelitian Pendidikan Inahaki, Tadahiko (2006). Guru jangan memikirkan bagaimana mengajar yang baik, tetapi hendaknya memikirkan bagaimana belajar yang baik. Guru harus banyak belajar, agar dapat mengajar lebih baik. Percuma menuntut siswa rajin belajar kalau gurunya tidak pernah berubah. Jadi kalau ada sekolah yang “brengsek”, maka yang harus dituntut untuk belajar lebih baik adalah gurunya.
 Di sekolah, guru hendaknya belajar kepada sesama guru, untuk membentuk komunitas belajar di sekolah. Setiap guru mempunyai hak untuk belajar mengembangkan keprofesionalannya. Oleh karena masalah pelik yang dihadapi guru adalah masalah pembelajaran, maka jalan yang perlu dilakukan adalah membuka kelas yakni sewaktu melakukan pembelajaran di kelas diikuti oleh guru lain, bahkan ditonton orang lain. 
 Maori (2006), Kepala Sekolah SD Hamanago, Chigasaki, yang memulai reformasi sekolah sejak 9 tahun yang lalu menuturkan, terdapat tiga slogan di SD Hamanago yaitu: 1) Menjamin hak semua untuk belajar; 2) Guru dan staf saling mendukung untuk berkembang; 3) Masyarakat dan orang tua bersama-sama belajar dan memberikan masukan untuk meningkatkan pembelajaran. 
 Selanjutnya interaksi antara guru dan siswa hendaknya dilakukan secara harmonis, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Interaksi yang harmonis dan saling menghormati akan memungkinkan bagi guru untuk menangkap apa yang tidak dapat diungkapkan oleh siswa. Setiap siswa memiliki hak untuk belajar. Karena itu setiap siswa mempunyai hak untuk mencapai taraf penguasaan yang tinggi.
 Dengan konsep tersebut, dapat dilakukan adanya 3 tahapan dalam reformasi sekolah (Inaba, 2006), sebagaimana dilakukan di yaitu: 1) Reformasi pembelajaran; 2) Reformasi hubungan siswa dengan guru; 3) Reformasi menciptakan saling belajar (membentuk learning community). 
 Mengubah pandangan guru bukanlah sesuatu yang mudah, seperti membalikkan tangan. Mengubah pandangan guru memerlukan waktu yang lama dan usaha yang terus menerus dari kepala sekolah untuk menerapkannya. Kepala sekolah memerlukan waktu satu tahun untuk meyakinkan guru agar mau membuka kelasnya untuk diamati orang lain. Ito, Koichi, (2006), pensiunan kepala sekolah SD Sambongi menjelaskan bahwa dia selalu mengajak para guru agar mau membuka diri kepada guru lain. Dia membujuk dengan cara selalu menyampaikan bahwa: “tidak ada seorangpun guru yang mempunyai kemampuan super, oleh karena itu, mari kita belajar bersama”. Lebih jauh Ito mengungkapkan bahwa guru, (dan juga manusia pada umumnya) belum terbiasa membuka diri terhadap guru/orang lain karena merasa diri masih mempunyai kelemahan. Guru yang merasa masih mempunyai banyak kelemahan cenderung tidak mau membuka pembelajarannya untuk diamati guru lain. “Ada dua macam orang yang pekerjaannya tidak mau diketahui orang lain yaitu guru dan pencuri” katanya berseloroh.
 Dengan usaha yang terus menerus, saat ini guru-guru SD Sambongi sudah terbiasa membuka diri, tidak khawatir terhadap kritik, guru muda sudah berani memberi kritik kepada guru yang lebih senior, termasuk kepada kepala sekolah. Mereka juga sudah berani menawarkan kepada guru lain untuk melihat pembelajarannya. Seiring dengan meningkatnya keterbukaan guru, maka meningkat pula ketertarikan siswa terhadap mata pelajaran, katanya.
  Inaba (2006), Kepala Sekolah SMP yang melanjutkan reformasi sekolah yang dirintis Sato, Masaaki (2006) mengungkapkan bahwa agar siswa dapat melakukan proses pembelajaran yang optimal di sekolah, dia mengurangi upacara yang biasanya dilakukan sehingga mengurangi jam pembelajaran. Menghilangkan bel sekolah pergantian antar jam pelajaran, menghilangkan pengumuman lewat pengeras suara, dan semua siswa naik kelas. 

D. LEARNING COMMUNITY
 Learning community (LC) atau komunitas belajar merupakan suatu konsep tentang terciptanya masyarakat belajar di sekolah, yakni proses belajar membelajarkan antara guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan bahkan antara masyarakat sekolah dengan masyarakat di luar sekolah. Anggota komunitas belajar akan selalu “haus” untuk belajar meningkatkan kualitas diri.  
 LC dimunculkan sebagai jawaban atas berbagai masalah pendidikan di Jepang serta pendobrak pandangan yang selama ini berlangsung yakni bahwa tugas guru adalah mengajar dan tugas siswa adalah belajar. Berbagai masalah tersebut menyebabkan munculnya “sekolah yang runtuh” dan mengatasi keruntuhan sekolah di Jepang dilakukanlah reformasi sekolah, yang di dalamnya terdapat komunitas belajar atau learning community (LC), dan melaksanakan kelas terbuka, yakni kelas yang proses pembelajarannya diamati oleh guru di sekolah tersebut, dan atau guru dari luar sekolah, pejabat, dosen dan bahkan orang tua siswa. 
 Inti dari reformasi sekolah adalah Lesson Study. Saat ini Lesson Study telah terjadwal dalam Program Tahunan inservice training guru. Tapi kalau guru hanya mengandalkan peningkatan kemampuannya melalui kegiatan tersebut, dianggap masih kurang. Tukar pikiran tentang pembelajaran secara informal sepanjang waktu yang tidak terjadual adalah sangat penting dan lebih banyak memberikan pengaruh kepada peningkatan keprofesionalan guru. Oleh karena itu guru harus belajar sepanjang masa. Guru akan dapat menemukan fakta setelah banyak belajar. Menjawab pertanyaan siswa tidak cukup hanya dengan “menurut buku”. Siswa akan jauh lebih tertarik jika guru dapat menunjukkan banyak fakta, termasuk dari kegiatan sehari-hari. Dengan demikian tertarik tidaknya siswa terhadap pembelajaran tergantung kemampuan guru.
 Dari berbagai penjelasan, pengalaman dan bahan bacaan, profil guru di dalam reformasi sekolah itu adalah guru yang:
1. Ikut membentuk learning community dan selalu berusaha belajar dari teman sejawat baik secara formal maupun tidak formal. 
2. Mendorong siswa untuk belajar secara kolaboratif;
3. Memperhatikan, menghargai hak setiap siswa untuk belajar dan mencapai tingkat penguasaan maksimal. Mendorong siswa untuk “melompat” dari C ke A;
4. Di dalam proses pembelajaran, guru tidak mendominasi, komunikasi berlangsung banyak arah, dan membentuk kelompok belajar agar siswa belajar secara kolaboratif;
5. Mendorong kreativitas siswa dan menghargai keanekaragaman pemikiran dan kreativitas siswa;
6. Mengenali segala gerak, perkataan, dan proses berpikir siswa baik yang terungkap maupun yang tidak terungkap. Guru tidak hanya melihat dengan mata tetapi juga melihat dengan hati. Kepekaan ini dapat diasah melalui minimal 200 X pengamatan;
7. Guru yang ideal adalah guru yang: bermulut kecil (sedikit bicara), bermata dan bertelinga besar. 
8. Dalam proses pembelajaran tidak diperlukan appersepsi, melainkan langsung menyampaikan materi tanpa basa-basi. Menurut penelitian, motivasi siswa tertinggi berada pada 10 menit pertama pembelajaran. Pemberian appersepsi dan basa-basi akan melewatkan waktu yang penting untuk menarik motivasi anak.

Menurut Kepala Sekolah SD Hamanogo, Chigasaki, Maori (2006), untuk mengatasi permasalahan sekolah, mulailah dilaksanakan Learning Community, dengan penggerak utama Sato, Manabu (2006). Ada 3 (tiga) slogan yang diterapkan di SD Hamanago yaitu: 1) menjamin hak semua untuk belajar; 2) guru dan staf saling mendukung untuk berkembang; 3) masyarakat dan orang tua bersama-sama belajar mengatasi permasalahan sekolah. 
Dalam rangka menciptakan komunitas belajar, pendekatan kooperatif diganti dengan pendekatan kolaboratif. Pada pendekatan kolaboratif, pencapaian belajar oleh setiap siswa menjadi perhatian utama. Jadi guru harus menjamin hak setiap siswa untuk belajar dan mencapai hasil belajar dalam taraf yang hampir sama. Seperti telah dikemukakan oleh Masatsugu, Murase (2006), bahwa pendidikan konvensional akan menghasilkan tenaga yang bekerja atas dasar petunjuk (cocok untuk produksi masal pada era industrialisasi), sedangkan hasil pendidikan kolaboratif akan menghasilkan tenaga yang bisa bekerja sendiri dan bisa bekerja sama dalam meraih prestasi.

E. PENGELOMPOKAN SISWA DAPAT MENURUNKAN SEMANGAT
Menurut Sato, Masaaki (2006), berdasar kemampuan yang diperoleh dalam proses pembelajarannya, siswa dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok siswa A dengan hasil belajar yang baik (mampu menguasai), kelompok siswa B dengan hasil belajar sedang dan kelompok belajar C dengan hasil belajar yang kurang (tidak mampu). Di dalam pendekatan kooperatif, targetnya adalah hasil belajar kelompok. Sebaliknya di dalam pendekatan kolaboratif, dimungkinkan terjadi saling belajar membelajarkan antar siswa sehingga pencapaian belajar siswa relatif sama (memang tidak mungkin sama). Siswa C dapat meminta bantuan ke siswa A dan siswa A hendaknya menolong siswa C sehingga siswa C penguasaannya menjadi lebih tinggi (bahkan bisa menjadi A). Ini dikatakan bahwa anak kelompok C “melompat” dari tidak mampu menguasai menjadi kelompok yang mampu menguasai.
Dalam rangka penugasan kelompok A meningkatkan kemampuan kelompok C, maka yang penting harus dilakukan adalah agar para siswa kelompok C yang tidak mampu mau menunjukkan keinginan untuk dibantu. Mereka harus dimotivasi agar berani meminta tolong. Biasanya, anak yang tidak mampu tidak mau dibantu. Karena itu guru harus mendorong mereka agar mau meminta tolong kepada teman-temannya sendiri yang lebih memahami. 
Sato,Masaaki (2006) dan Sato, Manabu (2006) berpendapat bahwa strategi kolaboratif dirancang agar tidak ada satupun siswa yang tidak dapat mencapai tujuan pembelajaran. Melalui usaha ini, ketidakberhasilan siswa diperkecil (karena tidak mungkin meniadakannya). Tidak semua siswa mampu melompat (jumping) sesuai dengan harapan guru. Golongan siswa C tidak harus semuanya ditolong oleh siswa A, tetapi harus ditangani sendiri oleh guru. Jadi guru harus memperhatikan secara langsung anak-anak yang kurang menguasai.
 Pengelompokan siswa secara artifisial pernah dilakukan di Jepang yakni di dalam kelas/sekolah siswa dikelompokkan menjadi kelompok A, B, dan C. Tetapi sekarang pengelompokan itu dihilangkan, demikian Sato. Manabu (2006) menjelaskan. Demikian pula Finlandia dan Perancis. Ini disebabkan karena tanpa diadakan pengelompokan secara buatan pun, akan terjadi pengelompokan secara alami. Pengelompokan siswa secara buatan menjadi A, B dan C akan mengakibatkan siswa kelompok C kehilangan semangat.
 Di dalam pembelajaran yang menggunakan kerja kelompok siswa, maka sebaiknya setiap kelompok terdiri dari 4 orang anak. Hal ini dimaksudkan agar terjadi komunikasi yang efektif antar anggota kelompok. Kelompok hendaknya heterogen, baik berdasar jenis kelamin maupun kemampuannya. 
Untuk mengatasi rendahnya mutu sekolah di Jepang, terjadi perdebatan yang dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
a. Kelompok persaingan, yaitu mereka yang ingin melakukan latihan soal terus menerus untuk meningkatkan kemampuan anak. Mereka yang berpikir begitu menganggap bahwa persainganlah yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan anak/sekolah. Menurut pendapat ini, apabila persaingan ditingkatkan maka masing-masing anak akan berusaha memecahkan soal sendiri.
b. Kelompok kerjasama, yaitu mereka yang mempunyai pemikiran berlawanan dengan kelompok persaingan. Kelompok ini berpendapat bahwa siswa yang belajar sesuatu harus berhubungan dengan pihak lain dan melalui proses belajar dengan anak/siswa lain. Konkritnya jika ada siswa belum mengetahui sesuatu, tetapi mau meminta pendapat orang lain, atau mendengar dari orang lain, maka dia akan dapat meningkatkan kemampuan diri sendiri sehingga mencapai tahapan yang lebih tinggi. Proses ini tidak akan terjadi jika ia belajar sendirian. Pendapat Vighotsky menyatakan bahwa tingkat yang dicapai oleh diri sendiri ada pada step 1 (bawah) dan ini masih bisa ditingkatkan ke step berikutnya (step2) yang lebih tinggi. Untuk melompat ke step berikutnya (step 2) butuh bantuan orang lain. Kenaikan penguasaan dari step I ke step 2 yang tidak melalui bantuan orang lain sebetulnya belum mencapai step berikutnya.  
Berikut disajikan contoh konkrit yang terjadi di sekolah yang menerapkan pembelajaran berkelompok dengan pendekatan kolaboratif sehingga siswa berhasil akibat belajar bersama-sama dalam pembelajaran IPS untuk kelas III SMP pokok bahasan “Pemilihan Umum dengan Partai Politik”. Setiap kelompok terdiri dari 4 orang siswa. Anak-anak sebelumnya sudah mencari informasi tentang pemilihan umum dan partai politik, dan berdasarkan informasi yang dia dapat mereka berdiskusi dalam kelompok. Di pertengahan diskusi ada kelompok yang mengalami kebuntuan, semua anggota kelompok terdiam. Guru berkeliling, kemudian mendekati kelompok yang mengalami kesulitan tadi tanpa berkata sepatahpun karena guru tersebut telah mengamati dan tahu faktor apa yang membuat kebuntuan. Guru tersebut hanya mengeluarkan satu kalimat, yaitu: “Sayuri, anak dari kelompok itu (sambil menunjuk Sayuri yang berada di kelompok lain, agak jauh dari kelompok yang mengalami kebuntuan ini) mengatakan begini ……..”. Guru ini mengemukakan pendapat seorang anak sebagai pancingan (stimulus). Apa yang terjadi? Ternyata sungguh mengejutkan. Dari stimulus tadi (meskipun pada awalnya anak-anak dalam kelompok yang mengalami kebuntuan ini tidak begitu menanggapinya), akhirnya ada yang mulai memikirkan pendapat Sayuri, dan selanjutnya mereka mulai berdiskusi lagi, memecahkan kebuntuan, memecahkan masalah semula, dan bahkan melahirkan masalah baru. 
Jadi di dalam proses pembelajaran itu berhasil membuat kelompok yang macet mencapai step berikutnya (melompat). Akhirnya siswa bisa saling menghargai, berhubungan, bekerjasama, merasa puas karena dapat memecahkan masalah, dapat menghargai orang lain dan menemukan masalah baru yang harus dipecahkan. Dari kejadian ini diperoleh 3 hal yaitu:
1. Para siswa dapat memecahkan masalah partai politik, yang sebelumnya tidak mereka pahami menjadi lebih mereka pahami.
2. Mereka menghargai pendapat/kemampuan teman sehingga terjadi hubungan antar teman yang saling menghargai.
3. Mereka menemukan sendiri masalah baru dan berusaha memecahkan masalah baru tersebut. 
Ketiga hal tersebut merupakan hal yang penting, tetapi yang lebih penting adalah bahwa ketiga hal tersebut ditentukan oleh satu kalimat guru saja. Tidak banyak kata-kata guru yang harus dihamburkan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi siswa. 
Mengapa dalam mengelola kelas guru harus membuat kelompok? Guru membuat siswa berkelompok agar siswa dapat meneliti diri sendiri, dan guru harus mengamati/mengikuti proses berfikir setiap siswa, misalnya siswa sedang dalam tahapan seperti apa, apa kesulitan siswa, dsb. Guru harus mempunyai kemampuan untuk menangkap hal yang tak terungkapkan siswa. Yang penting guru tidak menggurui tetapi harus mampu menghubungkan proses pembelajaran setiap siswa agar saling belajar. Jadi keahlian seorang guru bukan terletak pada kemampuan untuk mengajar sesuatu, tetapi pada kemampuan untuk mendorong setiap siswa agar dapat belajar dengan siswa lain.

F. PRO KONTRA KOLABORATIF
Terdapat orang yang menentang proses pembelajaran kolaboratif di Jepang. Alasannya, jika anak kelompok A mengajar kelompok C, lalu kegiatan A sendiri bagaimana? Memang hal itu akan membuat kelompok C yang tidak menguasai materi pelajaran menjadi lebih menguasai dan mereka menjadi senang. Namun belum tentu kelompok A yang telah menolongnya juga senang. Pendapat ini dimentahkan karena berdasar hasil penelitian ditunjukkan bahwa penguasaan siswa A menjadi lebih meningkat dibandingkan jika tidak dilakukan kolaboratif. Meskipun dirancang untuk meningkatkan C, tetapi dampaknya juga meningkatkan kemampuan kelompok A. Hasil ini juga didukung oleh penelitian di kedokteran. Menurut penelitian ini, oleh karena C senang dan berterimakasih kepada A, maka otak A mengeluarkan dopamin. Zat ini menyebabkan si A terus mengingat apa yang telah dipelajarinya. Oleh karena si C senang, C juga mengeluarkan dopamin sehingga C juga dapat mengingat terus apa yang pernah dipelajarinya. Karena itu hubungan yang baik antara guru-siswa juga harus dibangun agar dapat saling mengeluarkan dopamin. Hubungan yang baik antara guru-siswa juga dapat meningkatkan hubungan emosional guru-siswa.  

G. SEPULUH MENIT PERTAMA TERBUANG PERCUMA
 Menurut Sato, Masaaki (2006), 10 menit pertama disaat kelas dimulai merupakan saat dimana motivasi siswa tinggi. Motivasi siswa akan terus menurun seiring dengan berjalannya waktu. Oleh kerena itu pada awal pembelajaran guru hendaknya segera menyampaikan materi pembelajaran. Apabila di waktu yang baik itu guru menyampaikan appersepsi, atau berbasa basi, maka sepuluh menit pertama yang sangat berarti itu akan lewat begitu saja dengan percuma. Ketika pelajaran akan dimulai, motivasi siswa sudah menurun. 
 Selama proses pembelajaran hendaknya guru memperhatikan perubahan-perubahan ekspresi siswa, mimik, tingkah laku, kata-kata yang keluar, dan segala sesuatu yang tidak diungkapkan siswa tetapi memiliki arti penting untuk proses berlangsungnya saling membelajarkan. Maka sebaiknya guru memiliki indera keenam agar dapat menangkap pesan yang disampaikan siswa tanpa kata-kata. Dengan kata lain guru hendaknya mendalami psikologi siswa. 

H. GURU MAU MEMBUKA KELAS
 Bagi guru sendiri, belajar dari sesama guru merupakan ciri dari terbentuknya komunitas belajar. Mengingat tugas guru adalah melakukan proses pembelajaran, maka situasi saling membelajarkan itu hendaknya dilakukan di dalam suasana proses pembelajaran di kelas yang nyata, yakni sekelompok guru melakukan pengamatan dalam proses pembelajaran dan dilanjutkan dengan pemberian balikan setelah proses pembelajaran usai. Jadi dalam meningkatkan proses pembelajaran para guru melakukan kolaborasi.
 Untuk dapat melakukan kolaborasi, guru hendaknya bersedia membuka kelas yaitu: proses pembelajaran yang dilakukan diamati oleh guru lain, bahkan oleh orang tua siswa dan masyarakat. Kolaborasi itu dilaksanakan sejak melaksanakan perencanaan (plan) yaitu menyusun rencana pembelajaran (RP), melakukan pembelajaran (do) yang diamati oleh pengamat (see) dan diakhiri dengan melakukan refleksi untuk mendapatkan masukan dalam rangka peningkatan pembelajaran lebih lanjut. Kegiatan plan, do, see ini dikenal sebagai Lesson Study. Di dalam Lesson Study terjadi proses belajar membelajarkan antara guru-guru, guru-siswa, guru-masyarakat, siswa-siswa. Jadi Lesson Study merupakan tiang dari tegaknya learning community. Ini tidak berarti bahwa proses belajar membelajarkan hanya berlangsung ketika LS berlangsung. Menurut Ito (2006), kegiatan belajar membelajarkan di luar acara resmi itulah justru yang banyak memberikan manfaat bagi pengembangan profesi guru.  

KEPUSTAKAAN

Inaba, 2006. Pengarahan Kepala Sekolah pada Kegiatan Lesson Study di SMP Motoyshihara, Fuji. 
Inahaki, Tadahiko, 2006. Ceramah Kepala Institut Penelitian Pendidikan untuk peserta Counterpart Training, 4 November 2006. Shinano.
Ito, Koichi, 2006. Pembaharuan di SD Sambongi, Towada City. (Makalah, Terjemahan). Tokyo, SISTTEMS-JICA
Maori, 2006. Menjaga Kesinambungan Reformasi Yang Berbentuk Tangga Spiral. (Terjemahan). SISTTEMS-JICA-Sekolah SD Hamanogo, Chigasaki, Tokyo
Sato, Manabu, 2006. Tantangan yang Harus Dihadapi Sekolah (Makalah, Terjemahan). SISTTEMS-JICA
Sato, Masaaki, 2006. Perlunya Pembelajaran Kolaborotif (Makalah, Terjemahan). Tokyo, SISTTEMS-JICA
Watanabe, Kepala SD, 2006. Mulai Dari Membentuk Ruang Kelas yang Terang Sampai Belajar Meloncat yang Menambah Tinggi Badan. SISTTEMS-JICA, SDN Toyotama Minami, Nerima. 



Tidak ada komentar: